“Kamu ngomong apa Dik? Apa saya tidak salah dengar?” tanya Tardi kepada istrinya. Ia seperti tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan Asfina. Betapa tidak, tanpa prolog terlebih dulu, tiba-tiba perempuan berhidung mancung itu mengatakan ingin berhenti kerja.
“Benar, Mas. Saya sungguh-sungguh.”
“Kenapa?”
Asfina diam.
“Apa kamu takut kita tidak segera punya momongan?” desak Tardi.
Lelaki itu bertanya demikian, lantaran Asfina belum memberikan tanda-tanda akan mempunyai keturunan. Padahal ia sudah sangat merindukan segera datangnya sang buah hati. Sementara itu, usia perkawinan mereka sudah tiga tahun lebih.
Memang. Tardi sempat beberapa kali menyatakan keinginannya untuk segera punya keturunan. Itulah sebabnya mereka tidak ber-KB. Ia pernah merasa khawatir jika seorang perempuan sibuk tidak akan segera bisa hamil. Dua orang teman kerja Tardi – Ririn dan Ika – yang sudah cukup lama menikah belum juga punya keturunan. Memang. Ika baru empat tahun menikah. Tetapi, Ririn yang sudah enam tahun menikah belum juga memberi tanda-tanda akan hamil.
Ririn adalah atasan Tardi di tempat kerjanya. Tak jarang perempuan ini pulang paling akhir. Sering bekerja lembur. Ya, jika Ririn menyuruh anak buahnya bekerja lembur – tidak bisa tidak – ia pun akan ikut bekerja lembur. Kesibukan inilah yang dipercaya teman-teman kantor Tardi sebagai penyebab Ririn tidak kunjung hamil. Tardi pernah menceritakan hal ini kepada Asfina.
“Ya, sangat mungkin sekali hal itu terjadi,” demikian komentar Asfina, tatkala Tardi menceritakan keadaan Ririn yang tak kunjung hamil, “Perempuan kalau terlalu sibuk bisa jadi akan mengalami hambatan untuk hamil. Masalahnya akan lain jika Bu Ririn ikut kabe. Tetapi, Mas bilang kalau Bu Ririn ….”
“Saya bingung ngomongnya, Mas,” ujar Asfina membuyarkan lamunan suaminya.
“Bingung bagaimana?” tanya Tardi, “Tetapi, apa kamu takut tidak segera bisa hamil kalau masih bekerja. Saya tidak akan …”
“Saya tidak berpikir sejauh itu Mas,” potong Asfina, “Siapa bilang orang yang bekerja dapat memengaruhi kehamilan. Lha wong, mBok-mbok tukang gendong di pasar tetap bisa hamil. Bahkan di antara mereka ada yang anaknya banyak.”
Tardi diam kembali. Mungkinkah Asfina sudah berubah pemikiran? tanyanya dalam batin. Atau barangkali ia tak ingin saya kecewa andaikata dirinya tak kunjung hamil.
“Masalahnya kalau kamu berhenti kerja, tidak mudah untuk mendapat pekerjaan lagi,” kata Tardi, setelah agak lama diam, “Cari kerja sekarang ini susah, Dik.”
Asfina bergeming. Ia masih belum tahu bagaimana menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi di tempat kerjanya kepada suami sendiri. Sebab khawatir akan dianggap membuka aib korp.
“Apa kamu diteror seseorang?”
Asfina diam.
Asfina pernah menceritakan ada seorang bapak yang tidak terima karena anaknya dipulangkan. Gara-garanya anak itu menunggak iuran bulanan. Lelaki itu datang ke sekolah dengan membawa golok. Ia marah-marah di sana.
“Siapa yang telah menyuruh anak saya pulang? Siapa yang tidak mengizinkan Sani mengikuti pelajaran?” kata lelaki itu setengah berteriak, di depan pintu ruang guru.
Para guru yang tengah duduk di sana tidak ada yang melayani lelaki itu. Para tenaga pendidik yang sedang beristirahat di ruangan itu tampak tegang. Waw-was. Takut. Ngeri. Mereka tidak ada yang mencoba mendekati lelaki yang tengah dikuasai rasa marah itu.
“Siapa yang menyuruh anak saya pulang?” ulangnya, setengah berteriak.
Lelaki itu datang ke sekolah bukan semata-mata disebabkan anaknya disuruh pulang. Melainkan sesungguhnya ia masih belum rela melepas tanah warisan yang telah dijadikan sekolah. Ia memang salah seorang pemilik sebagian lahan yang kini sudah menjadi kompleks perumahan, dan salah satunya dijadikan bangunan sekolah.
Meskipun ia sudah menerima ganti rugi dari pihak pengembang. Tetapi, Marsam – demikian nama lelaki itu – seperti kebanyakan pemilik tanah lainnya yang sudah dijadikan kompleks perumahan, masih belum sepenuhnya rela melepas tanahnya menjadi kompleks perumahan.
Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang tentara yang anaknya juga bersekolah di tempat itu datang. Aparat berpakaian seragam loreng-loreng itu turun tangan menghadapi Marsam.
“Atau ada anak brengsek yang bikin kamu….”
“Tidak ada, Mas,” kembali Asfina memotong kalimat yang belum usai disampaikan suaminya.
“Nah, kalau begitu sebetulnya tidak ada masalah. Kenapa kamu ingin berhenti?”
Asfina diam.
Tardi kembali diam. Ia benar-benar merasa bingung dengan permintaan istrinya yang dianggap tidak masuk akal. Aneh. Janggal. Betapa tidak, di saat orang susah mendapatkan pekerjaan Asfina justru ingin berhenti kerja.
“Apa karena pendapatan kamu tidak sesuai dengan yang kita harapkan?” Tardi kembali melontarkan pertanyaan, setelah cukup lama ia menunggu reaksi dari istrinya. Namun, Asfina tetap bergeming.
Pertanyaan ini dilontarkan Tardi, lantaran istrinya pernah melontarkan kekecewaannya dengan besarnya gaji yang ia terima setiap bulan. Memang. Gaji yang diterima Asfina setiap bulan nyaris pas-pasan. Apalagi jika Asfina, misalnya, terpaksa menggunakan jasa ojek ketika berangkat kerja. Tak heran bila Asfina pernah beberapa kali melontarkan kekecewaannya.
“Jika dihitung-hitung saya ini jadi seperti orang kerja bakti, Mas,” kata Asfina.
“Kalau memang begitu, ya lebih baik kamu tidak usah kerja saja, Dik,” komentar Tardi, setelah berkali-kali istrinya melontarkan kalimat yang sama, ketika itu.
“Toh kamu kerja atau tidak, penghasilan kamu tidak pernah bisa ditabung. Jadi, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya,” lanjut Tardi memancing reaksi istrinya.
“Ya, bukan tidak ada hasilnya Mas,” ujar Asfina.
“Tadi kamu bilang kerja bakti. Lalu kenapa ….”
“Maksud saya bukan itu hasilnya.”
“Lantas?”
“Saya merasa senang apabila ada murid yang berprestasi. Bangga bila apa yang saya ajarkan dapat bermanfaat bagi mereka. Jadi, bukan materi yang saya peroleh Mas. Melainkan kepuasan batin.”
Tardi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tardi merasa aneh lantaran di satu sisi istrinya mengeluh tetapi di sisi lain ia memperoleh kepuasan batin. Padahal kepuasan batin tak bisa diukur dengan materi. Bahkan seringkali orang yang ingin mendapat kepuasan batin harus berkorban materi.
Ketika ia masih bujangan, misalnya. Kegemaran Tardi memancing – tidak bisa tidak – memerlukan pengorbanan materi yang tidak sedikit. Namun, ia memperoleh kepuasan batin ketika kailnya dimakan ikan. Kepuasan ini dirasakan ketika ia menarik senar pancing. Bukan semata-mata banyaknya ikan yang berhasil ia peroleh. Sebab jika ia mendapat ikan acapkali hasilnya justru diberikan kepada tetangga.
Sementara itu, Asfina mendapat kepuasan batin dengan pekerjaan yang ditekuninya. Mendapat kepuasan batin tanpa harus mengeluarkan biaya. Tidak merasa sia-sia menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Lalu kenapa mesti mengatakan kerja bakti? Tardi membatin.
“Ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan bila anak didik saya nanti ada yang jadi orang. Ya, misalnya di antara anak didik saya nanti ….”
“Saya ingin berhenti bukan karena gaji, Mas,” Asfina membuyarkan pikiran Tardi.
“Ya, bagus kalau kamu tidak mempersoalkan gaji. Toh, saya pernah bilang pekerjaan kamu itu mulia. Pekerjaan mendidik generasi penerus bangsa tak bisa dinilai dengan apa pun. Jadi, …”
“Kenyataannya tidak demikian, Mas,” potong Asfina.
“Maksudnya?”
“Saya merasa mendidik ketidakjujuran mereka.”
Tardi diam. Ia terkejut mendengar kalimat istrinya. Meskipun demikian ia tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu di depan Asfina.
Selanjutnya Asfina menceritakan konflik yang terjadi dalam batinnya selama ini. Ya, lantaran setiap menjelang UN semua guru di sekolahnya – termasuk Asfina, tentunya – harus membantu murid-muridnya agar mereka lulus. Caranya dengan memberikan contekan kepada peserta UN.
Jika tidak demikian, bisa dipastikan, yang lulus tidak sampai separuhnya. Apalagi standar kelulusan makin ditingkatkan. Padahal jumlah siswa yang lulus sangat memengaruhi penilaian terhadap pendidik di sekolah.
“Bukankah ini artinya guru mendidik anak menjadi manusia yang tidak jujur,” lanjut Asfina.
“Apa pengawas independen….”
“Pengawas independen juga manusia. Kalau mereka diajak damai dalam tanda kutip juga mau. Nonsense! Jika mereka benar-benar mengawasi pelaksanaan UN. Itu sebabnya saya selalu dihantui rasa bersalah, Mas.”
Pantas banyak orang tidak jujur. Rupa-rupanya mereka salah didik, pikir Tardi. Kalau begitu tak heran jika ada politisi tidak jujur dengan istrinya – melakukan perselingkuhan. Ada yang tidak jujur dengan negara dan bangsa, melakukan tindak korupsi.
Ada yang tidak jujur dengan rakyat, mengingkari janji terhadap rakyat. Ada yang tidak jujur dengan keadilan yang harus ditegakkan, seperti yang dilakukan aparat …..
“Mas Tardi pasti tidak akan percaya kenyataan di lapangan tidak sama dengan teori para pejabat tinggi negara,” untuk ke sekian kalinya Asfina menghentikan pertanyaan yang bergejolak dalam batin Tardi.
Tardi masih tetap diam.
“Bagaimana pendapat Mas Tardi kalau saya berhenti?”
“Sudahlah nanti kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Sekarang kita tidur dulu. Sudah malam Dik,” kata Tardi. br
Lalu Tardi ke kamar tidur diikuti istrinya, setelah sebelumnya mematikan lampu yang sudah tak terpakai.
Di tempat tidur Tardi langsung merebahkan diri. Memejamkan mata. Namun, pikiran- nya masih dipenuhi setumpuk pertanyaan mengenai istrinya. Sebab ia tak pernah menduga Asfina masih punya idealisme ketika sudah banyak orang yang kehilangan nilai-nilai luhur ini. Istrinya menjadi guru sebuah sltp bukan karena agar tidak menganggur lantaran ia seorang sarjana.
Asfina menjadi guru karena panggilan hati nurani. Andaikata semua guru seperti istri saya mungkinkah peserta UN yang lulus tidak akan sampai separuhnya? tanyanya dalam batin. Meskipun demikian Tardi tak ingin melontarkan pertanyaan ini. Entah sampai kapan Tardi tak bisa memejamkan mata. Yang jelas, ia baru benar-benar tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas.